-->

Kamis, 09 Juli 2009

Lakon Semar Meteng

SESOSOK tubuh gempal mirip Semar mengendap-endap. Langkahnya siaga, mengantisipasi agar orang lain tak ada yang memergoki. Ternyata, kehadirannya diikuti dua teman lainnya. Mereka mirip, sama-sama berkuncung, lengkap dengan senter di tangan. Ketiganya adalah Semar Ilir-Ilur.

Pelan tapi pasti, arah sinar salah satu senter mereka memfokus pada sesosok tubuh yang menggeliat-geliat mewek, entah merintih, entah tertawa. Tubuh yang disenteri itu besar. Perutnya besar pula.

''Yah, begitulah. Nafkah lahir batinku terabaikan. Abis, Kang Semar bertapa terus,'' ujar Kanastren sambil memandang tubuh berperut besar yang sedang ngglimpang tersebut. Tapi, diam-diam, di pojokan, Kanastren bisik-bisik bertransaksi dengan tiga tamu misterius yang nyamperi rumahnya.

Denmas Semir, ya, itulah nama saudagar kaya dari negeri antah-berantah. Dia datang dengan lembaran uang bergepok-gepok. ''Gimana, Semar Tanah siap dipaksa melahirkan? Sak gini cukup?'' ujar Semir merayu Kanastren dengan lembaran dolar sak koper. ''Sudah saatnya Semar Tanah dipaksa melahirkan embrio-embrio baru,'' tambahnya.

Dengan sangat terpaksa, karena desakan biar dapur tetap ngebul dan kendil tidak pating njedil alias ngglempang, Kanastren menerima tawaran Denmas Semir.

Tapi, Semar yang sudah bertapa selama sembilan bulan tiba-tiba membuka matanya. Dan dengan tegas menolak nafsu keinginan Denmas Semir. Sumpah serapah keluar dari bibir Semar yang kecewa dengan Kanastren. Istrinya itu dianggapnya hanya mementingkan kesenangan dunia sesaat dengan gelimang emas, berlian, dan mutiara.

Semar seketika mengambil ponsel yang selalu standby di dalam tas cangklong hitamnya. Di-dial-nya telepon Bambang Ismaya. ''Bener nich? Ini momentum yang good tuk pregnant en melahirkan?'' selidik Semar. Percakapan hening sesaat. Di seberang sana, Bambang Ismaya mengerutkan keningnya. Bambang Ismaya akhirnya meminta Semar naik ke langit tingkat tujuh. Mungkin di sana ada jawabnya.

Dengan hanya berbekal pakaian yang melekat di tubuhnya dan bersandal jepit, Semar nekat menembus langit demi langit. Sekuat tenaga dikayuhnya sepeda kebo warisan orang tua. Sepeda kumbang itu cepat melesat menuruni bukit Karang Kadempel dan plass, terbang menembus langit pertama. Di tengah perjalanan, Semar sempat melewati perkampungan nelayan di pesisir utara.

Aneh, suasana yang dulu penuh keceritaan sekarang gersang. Tambak-tambak garam terbengkalai ditumbuhi lebat lumut hijau. ''Yo opo, Rek? Kuabeh sungai kebek limbah tur beracun, lagi. Kagak ada guna amdal-amdalam,'' seloroh nelayan itu. Semar mbrebes mili. Dia tak tahu cara menolong orang-orang tersebut.

Dari jauh, terlihat puluhan orang berbaris berduyun-duyun dengan busana serba merah, Mereka meneriakkan yel-yel Srikandi Berwibowo. Memang, saat itu Srikandi dengan para kadernya sedang melakukan aksi turun ke bawah. Sambil menyelam minum air. Ada udang di balik batu.

''Hey, lagi ngapain kok mbeyes mewek kayak gitu? Tambah jelek aja,'' sapa Srikandi. Semar menceritakan semua yang dilihat dan didengarnya. Srikandi Berwibowo pun menawarkan diri membersihkan pencemaran air, terutama di sungai dan laut. Semar dengan tersenyum kembali mengayuh sepedanya ke tingkat berikutnya.

Memasuki jarak tiga kilo, suara gemuruh datang dari jalanan yang akan dilewati Semar. Jembatan yang rapuh dimakan waktu akhirnya jebol juga. Jembatan langit runtuh, Semar bingung alang kepalang. Dalam situasi menegangkan, datang sebuah mukjizat. Dengan kereta kebesarannya, datang Arjuna yang berbudi. Arjuna langsung menawarkan perbaikan, komplit-plit. Mulai desain sampai pembiayaan.

Dengan mengerahkan ajian Panglimunan, datanglah jin, gendruwo, beserta keluarga dekatnya membantu mewujudkan keinginan Arjuna Berbudi. So, dalam hitungan detik semuanya beres res dan Semar dapat melanjutkan perjalanan.

Memasuki etape langit ketiga, kebanyakan jalan menurun. Semar lebih merundukkan badan rata dengan kemudi sepeda kumbangnya. Memasuki turunan yang berakhir tikungan tajam, roda belakang sepeda berdecit keras dan meninggalkan bekas hitam di atas aspal.

''Waduuh, kalian lagi pada ngapain? Memperbaiki atau malah merusak alam kyeeeeh?'' selidik Semar. Jendral Karna yang lagi asyik beraktivitas pun ndadakan berhenti. ''Yah, pasti menghijaukan lagi-lah, Uncle," terang JK alias Jendral Karna.

Semar mbatin, apa bener-bener alam kita sekarang rusak parah, yah? Sebodo amat, Semar langsung genjot abis. Wuuzzzz... melesat ke langit pitu. Hampir saja tenaga Semar berhasil menggeser pintu, sebuah tangan penuh tenaga mencekal tangan Semar. Seketika, dia kuat-kuat me-ngipat-kan tangannya. Yamadipati menggelegak seakan tertantang. Tanpa babibu lagi, Yamadipati menyosor menyerang. Tapi, amarah Semar membuatnya membabi buta. Sebuah teknik kuncian, menjerat tubuh Yamadipati. Sekali sentak, Yamadipati berteriak panjang dan terlempar jauh.

Tanpa menyia-nyiakan waktu Semar membuka pintu langit kepitu. Behind the door, Sang Hyang Tunggal sudah menunggu. Semar mencurahkan semua isi hatinya. Bagaimana Kanastren sekarang menjadi matre alias gila harta. Semua sekarang diselesaikan dengan money. Sampai sekadar berdoa pun berujung uang.

Kenapa aku diperlakukan seperti ini, dipaksa melahirkan sesuatu yang baru? Dengan bijak Sang Hyang Tunggal berujar, bahwa rahim bukan sekadar sebuah tempat gua bertapa sembilan bulan. Rahim adalah sebuah jalan cinta dan hidup semua makhluk yang bernyawa sekarang. Termasuk, mencari nafkah yang halal itu juga jalan cinta. (*)

oleh : Ki Selamet Gundono
jawa pos 07 juni 2009


Tidak ada komentar:

Posting Komentar